Housewife

July 24, 2008

Sebenarnya ini bukan cerita pengalaman hidup saya sih, bukan juga berdasarkan observasi lapangan, tapi cerita ini hanya berdasarkan pada asumsi beberapa orang wanita pada umumnya, yang kebetulan saya kenal.

“Jangan jadi housewife sejati cah ayu”, pesan seorang ibu pada saya.

Saya hanya mengangguk-angguk, mencoba mencermati apa yang dia katakan tadi.

Lalu saya bertanya, “Kenapa tante?”.

“Karena bila menjadi housewife sejati, itu adalah awal dari keretakan rumah tanggamu. Selain itu, kamu tidak punya tumpuan selain suamimu, kalau ada apa-apa kamu pasti menjadi takut bertindak”.

Kemudian orang yang saya panggil tante itu bercerita banyak hal tentang orang-orang di sekitarnya yang sebagian besar mengalami keretakan rumah tangga akibat adanya perselingkuhan dari pihak suami, beban rumah tangga yang berat hingga ada yang mau bunuh diri.

Sekali lagi, saya hanya mengangguk-angguk tanda mengerti, walaupun dalam hati saya tidak percaya mutlak dengan apa yang ibu itu bilang.

“Lalu, kalau misalnya suami kita tidak mengijinkan kita bekerja karena kita harus mengurus anak itu bagaimana tante solusinya?”, pertanyaanku ini menandakan bahwa aku memang masih penasaran dengan apa yang dia ceritakan.

Dengan tegas ibu itu bilang, “Yaaa, paling tidak kamu bisa melakukan hal-hal keci yang menghasilkan jasa misalnya bisnis kecil-kecilan atau mungkin menjadi pekerja walaupun tak full time. Kalau anak-anak masih kecil, mungkin wajar saja kalau kita tidak bekerja, tapi kalau anak-anak sudah besar, sudah sepatutnya kita punya waktu untuk usaha”.

Yup, asumsi yang sangat tepat.

Dan lagi-lagi saya menggangguk, kali ini saya benar-benar mengerti apa yang dia ceritakan.

Berawal dari obrolan singkat, saya lalu berpikir sambil mengamati orang-orang yang setidaknya sudah berkeluarga.

Seseorang terutama wanita pasti juga mempunyai masalah dalam hidupnya tanpa terkecuali. Seorang wanita karir pasti pernah mempunyai masalah di kantor, wanita yang masih ambil sekolah, pasti juga mempunyai masalah dalam studinya bahkan wanita yang hanya di rumah (ada atau belum ada anak pasti juga mempunyai masalah).

Wanita yang sibuk dengan dunia luarnya pasti akan sangat senang ketika pintu rumahnya terbuka dan sang suami memeluk lembut serta berucap “Apa kabar sayang?”. Semua beban masalah terasa lenyap terbawa angin dan dalam sekejap wanita itu bisa berubah fungsi menjadi istri yang sempurna.

(Catatan: Mungkin, dalam kasus ini hanya dimaksutkan untuk wanita karir yang masih perhatian dengan keluarga bukan untuk wanita karir yang benar-benar karir (urusan karir adalah urusan pertama di atas urusan keluarga)).

Sedangkan wanita yang menjadi housewife sejati, sebagian besar masalah hanya ada pada dirinya sendiri. Masalah kebosanan itu pasti akan menduduki urutan pertama. Apalagi apabila wanita itu adalah wanita tipe pekerja keras dan suka tantangan. Selain itu bagi yang sudah punya anak, masalah yang mungkin adalah masalah anak-anak.

Dan, lucunya lagi, banyak kasus yang terjadi akhir-akhir ini adalah suami jaman sekarang yang “sedikit” pelit membagi harta kepada istri. Kalaupun tidak seperti itu, banyak juga istri yang merasa tidak enak hati meminta duit “lebih” kepada suami. Kalau hal itu benar-benar sudah banyak terjadi, dunia seakan menangis merintih. Kewajiban suami adalah memberikan nafkah seratus persen dan kewajiban istri adalah patuh pada suami dan dia berhak meminta haknya (semampu suami tentu saja).

Semakin banyak wanita karir maka semakin banyak suami yang berpikir bahwa dia tak perlu memberi nafkah 100% kepada istri dan mengakibatkan semakin banyak wanita yang dulunya hanya ingin mengabdi penuh di rumah berubah pikiran ingin menjadi wanita karir. Wanita-wanita itu takut apabila suaminya tidak mau memberi nafkah penuh karena pengaruh lingkungan dan takut bila suaminya melirik wanita karir di luar sana yang pasti tidak akan merepotkan dia karena dia tidak perlu memberikan nafkah penuh.

Dilema.