Film yang Salah untuk Mereka

February 19, 2009

Malam minggu kemarin secara mendadak kami manfaatkan untuk nonton film di movie theater terdekat. Movie theater sangat ramai dipadati masyarakat yang sepertinya pulang dari pesta perayaan Valentine’s Day pada hari itu. Terlihat sekilas, banyak gadis-gadis membawa setangkai bunga mawar yang saya pikir itu dari kekasih atau sahabatnya.

2652498644_c82f00ed14

Beberapa menit selanjutnya kami sibuk memilih movie yang akan ditonton. Suami saya sangat hobi nonton film horor, sedangkan saya lebih senang nonton drama romantis. Setelah beradu beberapa menit akhirnya kami memutuskan nonton film thriller yang judul Friday The 13th (di Indonesia udah ada belum ya?). “Kalau liat trailernya sih, film ini sepertinya tidak terlalu menyeramkan”, batin saya meyakinkan diri. Menonton film horor di movie theater dengan gambar dan sound yang lebih mantap mambuat saya kapok nonton film horor disana untuk kedua kalinya, hehe.

Tidak seperti biasanya, ketika menyerahkan tiket ke petugas penjaga di depan lorong masuk ruangan movie kami ditanyai ID. Dengan bingung, suami menyerahkan ID yang membuktikan bahwa umur kami sudah di atas 21 tahun. Dan akhirnya kami dipersilahkan masuk.

Kami datang pada malam itu sedikit terlambat . Film sudah diputar beberapa menit yang lalu. Adegan yang menyambut kami pertama adalah sekelompok muda-mudi yang sedang berlibur dan sebagian dari mereka terlihat bermesraan dengan kekasihnya. Tak segan-segan, adeganpun berlanjut ke adegan untuk orang dewasa yang menunjukkan sebagian banyak *maaf* bagian tubuh wanita. Saya baru sadar alasan mengapa penjaga tiket tadi meminta ID. fridaythe13th-ps-4

Beberapa saat kemudian, rombongan anak-anak kecil masuk ke dalam ruangan itu. Kami yang sedang menikmati film sontak sedikit merasa terganggu dengan riuhnya suara kecil mereka. Pandangan kami berbalik ke mereka dan kami liat ada sekitar 6-7 anak yang kira-kira usianya berkisar antar 5-10 tahun. Kami juga melihat ada sosok orang dewasa (apakah itu orang tua mereka atau bukan) yang duduknya sedikit terpisah dengan mereka.

Selang beberapa detik setelah rombongan anak-anak itu tenang, di layar movie theater terlihat ada sepasang muda-mudi yang sedang melakukan hubungan intim. Kontan saja saya langsung mengamati anak-anak yang baru datang tadi. Saya sedikit miris melihat mereka tetap menonton dengan seksama bahkan selintas melalui siluet cahaya dari layar, saya melihat ada seorang anak yang melongo melihat adegan tersebut. Menyedihkan.

Namanya juga film remaja-dewasa, adegan seperti itu tidak hanya satu atau dua kali. Bahkan pemain-pemain itu melakukannya seperti terlihat nyata. Hal lain yang bikin saya menutup mata adalah adegan pembunuhan yang dilakukan si Jason (tokoh utama pembunuhan) yang tergolong sangat keji. Cara dan strategi dia mengikuti lawan dan membunuhnya dengan biadab termasuk sikap yang sangat kejam. Menurut saya, itu bisa dikategorikan sebagai pelajaran cara pembunuhan dan penganiayaan terhebat kepada anak-anak yang masih belum mengerti mana yang baik dan yang buruk. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya nanti anak-anak yang ada di ruangan tersebut ketika dewasa.

Beberapa menit kemudian, Read the rest of this entry »

Aku Takkan Pernah Puas

January 23, 2009

Sebut saja namaku Rita. Gadis dengan setumpuk prestasi dan keberuntungan. Tapi saya selalu merasa bahwa diriku ini termasuk sosok yang kurang beruntung di dunia. Ada kalanya saya sedih dengan diri sendiri mengapa saya tidak bahagia. Dan ada kalanya pula, saya merasa sangat tersanjung dengan semua apa yang sudah saya peroleh. Dua hal tersebut selalu berganti mewarnai hari-hariku.

Lima tahun yang lalu, saya yang masih tinggal di negara sendiri mempunyai mimpi untuk mencicipi kerasnya hidup di negara lain. Apa saja saya lakukan untuk memenuhi usaha saya. Saya berdoa tiap hari, berusaha menabung sekuat tenaga dan mencari relasi siapa tahu ada yang bersedia mensponsori saya tinggal di LN. Dan akhirnya tercapailah cita-cita itu. Betapa bahagianya saya dan keluarga.

Tapi setelah beberapa bulan di LN. Kebahagiaan itu memudar hingga akhirnya saya menyesal. Mengapa dulu saya rela-relanya berjuang untuk bisa hidup di LN. Padahal hidup di LN itu ternyata tidak mengasyikkan bahkan lebih asyik hidup di tanah air.  Beasiswa sekolah saya pun rasanya sudah tidak berharga lagi. Saya menyesal mengapa dulu saya tidak apply beasiswa master di tanah air saja.

Tidak betahnya saya di LN sebenarnya dikarenakan karena banyaknya kebutuhan hidup di luar dugaan dan jumlah beasiswa yang ternyata jauh tidak sebanding. Saya seharusnya bisa bekerja untuk menambah penghasilan. Tapi sampai beberapa bulan berusaha mencari pekerjaan, tak ada satupun dosen, instansi kampus bahkan company lokal yang mau mengangkat saya jd employee. Betapa merananya hidup saya saat itu.

Hingga keberuntungan itu terjadi. Saya tiba-tiba dipanggil oleh sebuah dosen dan dipercaya menjadi asisten proyek terbarunya beliau yang bernilai ratusan ribu US dollar. Saya merasa sangat tersanjung karena tidak semua bisa menjadi bagian dalam penelitiannya itu. “Alhamdulillah”, ujar saya.

Tapi lagi-lagi, tak selang dalam beberapa hari, saya merasa menyesal menerima pekerjaan itu. Menjadi asisten suatu proyek penelitian yang bernilai ratusan ribu dollar terlalu susah untuk saya. Saya merasa tidak bisa mengimbangi jam kerjanya yang selangit, belum lagi harus se-perfect mungkin karena dosen saya perfeksionis dan beliau tidak ingin penelitiannya berakhir sia-sia. Saya merasa apa yang saya dapatkan tidak setimpal dengan apa yang saya lakukan saat itu. Karena kontrak kerja yang masih lama, akhirnya saya hanya berusaha untuk bertahan, tentu saja disertai stress yang sangat berat.

Kontrak kerja penelitian selesai. Akhirnya saya mengurutkan dada. Lega.

Selang beberapa bulan kemudian, saya kembali kelimpungan dengan jumlah uang di rekening yang semakin menipis padahal tagihan menumpuk. Lagi-lagi saya stress. “Tuhan, ada saja masalah datang. Tak relakah Kau berikanku kesenangan yang lebih lama?”, gumam saya sambil menangis.

Saya bertekad harus mendapatkan pekerjaan lagi. Apapun bentuknya dan bagaimana capeknya harus saya jalani demi kebutuhan. Dan keberuntungan memang selalu berpihak pada saya. Akhirnya saya dapat pekerjaan menjadi salah satu karyawan di library kampus. Uangnya lumayan bisa menutup kebutuhan hidup saya. Bahkan kadang lebihnya bisa saya belanjakan untuk hal-hal lain yang sifatnya tersier. Alhamdulillah, Allah masih membuka pintu rejeki-Nya lebar-lebar.

Pasti teman-teman bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Yup! Saya kembali ke peraduan kesedihan. Kali ini saya tidak menyesal seperti sebelumnya, tapi saya merasa tidak beruntung. Tidak beruntung karena walaupun udah cukup materi, masalah selalu datang silih berganti. Dari masalah rekan kerja, atasan kerja, kuliah hingga urusan keluarga.  Tekanan masalah dan perasaan tidak beruntung ini akhirnya mendorong saya merasakan depresi yang amat sangat.

Yang saya sangat butuhkan saat itu tentu saja adalah seorang teman. Saya berharap saya bisa mendapat pencerahan dari teman saya. Dan ternyata, teman yang saya butuhkan tak kunjung datang. Mungkin kesibukan sangat menyita waktu mereka. Dan kejadian ini justru menyulut kemarahan saya pada keadaan. Mengapa selalu ada masalah?

3086156325_dcfcacf39a

Hingga akhirnya seusai berdoa, saya tiba-tiba terpaku beberapa saat. Memori saya menuntun saya kembali ke masa lalu. Berbagai bayangan suka, duka menyelinap masuk bergantian.  Perasaan bahagia, tersanjung silih datang dan pergi dengan perasaan sedih dan putus asa. Apa yang saya minta sering Tuhan berikan kepada saya. Mengapa saya tidak selalu puas? Mengapa setelahnya saya justru tidak terus ingat untuk mensyukurinya. Hanya beberapa hari saya mensyukuri setelah itu mencercanya? Perasaan malu langsung menyelimuti hati saya.

“Tuhan, ampuni hamba-Mu ini. Sepertinya hamba-Mu ini bukan tidak beruntung tetapi terlalu beruntung hingga lupa dengan banyaknya nikmat yang Kau berikan dan tidak mensyukurinya. Sesungguhnya umur, keluarga, kesehatan, status  hamba yang sekarang masih melekat di diri hamba ini adalah nikmat yang paling mahal tapi saya tidak menyadarinya”

*Didedikasikan untuk seorang teman yang pura-pura bernama Rita. Gambar diambil dari sini.

Saya berfikiran menulis tentang hal ini setelah membaca blog tetangga disini. Entah mengapa dari tulisan tersebut saya merasakan betapa sulitnya melawan berbagai budaya asing yang sangat berbeda dengan sunnah agama dan budaya daerah asal kita. Salah satu halnya adalah budaya berpakaian. Budaya asing mengajarkan pada kita bahwa fashion adalah segala-galanya. Fashion yang tidak ketinggalan jaman tentu saja yang selalu up to date, modis dan nyaman dipakai (contoh: kalau summer/musim panas, orang-orang akan memakai baju pendek plus tipis). Sedangkan sunnah agama dan budaya kita mengajarkan bahwa fashion adalah sesuatu yang harus kita perhatikan kenyamanannya, kebersihannya dan kesopanannya tanpa mengurangi jumlah aurat yang semestinya tertutup. Nyaman dipakai kalau tidak menutupi aurat yang semestinya tertutup berarti sama saja tidak sesuai dengan agama dan budaya. Begitu teorinya.

Sedangkan kenyataannya tidak seperti itu. Mengikuti fashion adalah hal pokok daripada memikirkan tentang budaya dan sunnah agama. Bahkan sekarang di Indonesia banyak perempuan-perempuan yang berjilbab sekedar mengikuti trend. Sehingga seringkali kita mendengar, “Berjilbab ga berjilbab sama saja. Itu cuman masalah fashion”. Nah loo???

6a00d8341c2f5553ef00e54f15bf188833-800wi

Banyak perempuan yang takut memakai jilbab salah satunya karena melihat fenomena itu. Jilbab bukan sesuatu yang pokok untuk agama karena buktinya banyak yang memakai jilbab tapi secara kualitas agama sama saja dengan yang tidak pakai jilbab. Dan bahkan mereka takut apabila memakai jilbab tetapi tidak berubah menjadi baik nantinya justru akan menjelekkan agama.

Dari pengalaman pribadi di negara yang budayanya jauh dengan sunnah agama Islam, berjilbab adalah hal yang sangat membantu saya dalam segala hal salah satunya adalah masalah sholat. Kendala susahnya masjid di Amerika ini memaksa kita untuk sholat dimana saja dan dalam kondisi apa saja. Di mobil, duduk di kursi, di rumah teman, di sekolah, di tempat kerja, di bus maupun di kereta. Alhamdulillah, Allah memudahkan kita dengan tayamum. Andai kata kita perempuan yang tidak berjilbab betapa sulitnya kita saat harus sholat. Yang terjadi justru kita akan menundanya sampai kita menemukan masjid atau cari tempat yang benar-benar bisa ganti baju dan memakai hijab. Dan bila malas karena terlalu ribet, tak sadar kita benar-benar meninggalkan sholat. Sedangkan kalau kita berjilbab, kita tinggal ambil tayamum, membenarkan kaos kaki, hijab lalu sholat.

Yang kedua adalah lebih mudah menghindari dunia hedonism. Setiap minggu, dunia fashion di negara ini selalu berganti. Minggu ini celana sepaha dengan kancing di samping, minggu depannya rok mini dengan kancing jarang-jarang di bagian depan, minggu depannya ada lagi. Setiap weekend juga banyak tempat-tempat clubbing berkeliaran di seantero kota. Berapapapun banyaknya uang yang kita punya mungkin akan habis kalau tiap minggu kita berpesta pora disana. Dunia jauh lebih kejam daripada seekor rayap yang sedang menggerogoti rumah kayu kita. Sedangkan bila kita berjilbab, betapa kita lebih mudah menahan hawa nafsu kita untuk ikut-ikutan masuk ke dunia seperti itu. Kita akan lebih berhati-hati memilih fashion yang cocok dengan kita. Modelnya, potongannya, gayanya pasti akan kita sesuaikan dengan jilbab kita. Secara tidak langsung kita akan menghemat karena saya yakin tidak tiap minggu ada fashion yang cocok dengan pakaian berjilbab kita. Kita juga akan berpikir 50x lipat untuk memutuskan bergabung di tempat-tempat clubbing ketika weekend. Kita akan berpikir, “Apa kata dunia dengan jilbab ini andai saya masuk ke dunia seperti itu?”.

Jadi, meskipun sedang di negara tidak berbudaya sekalipun, berjilbab itu sangat lah berarti buat kita. Walaupun jilbab tidak menunjukkan secara mutlak tingkat keimanan kita, tapi setidaknya dimanapun kita bisa ingat bahwa kita wajib menjaga aurat, sholat dan sunnah agama. Manusia tidak ada yang sempurna. Tapi kita harus selalu berusaha untuk menjadi/mendekati sempurna.

Semoga ini bisa membantu teman-teman yang ragu berjilbab karena sedang di negara asing.

Gambar diambil dari sini.

Housewife

July 24, 2008

Sebenarnya ini bukan cerita pengalaman hidup saya sih, bukan juga berdasarkan observasi lapangan, tapi cerita ini hanya berdasarkan pada asumsi beberapa orang wanita pada umumnya, yang kebetulan saya kenal.

“Jangan jadi housewife sejati cah ayu”, pesan seorang ibu pada saya.

Saya hanya mengangguk-angguk, mencoba mencermati apa yang dia katakan tadi.

Lalu saya bertanya, “Kenapa tante?”.

“Karena bila menjadi housewife sejati, itu adalah awal dari keretakan rumah tanggamu. Selain itu, kamu tidak punya tumpuan selain suamimu, kalau ada apa-apa kamu pasti menjadi takut bertindak”.

Kemudian orang yang saya panggil tante itu bercerita banyak hal tentang orang-orang di sekitarnya yang sebagian besar mengalami keretakan rumah tangga akibat adanya perselingkuhan dari pihak suami, beban rumah tangga yang berat hingga ada yang mau bunuh diri.

Sekali lagi, saya hanya mengangguk-angguk tanda mengerti, walaupun dalam hati saya tidak percaya mutlak dengan apa yang ibu itu bilang.

“Lalu, kalau misalnya suami kita tidak mengijinkan kita bekerja karena kita harus mengurus anak itu bagaimana tante solusinya?”, pertanyaanku ini menandakan bahwa aku memang masih penasaran dengan apa yang dia ceritakan.

Dengan tegas ibu itu bilang, “Yaaa, paling tidak kamu bisa melakukan hal-hal keci yang menghasilkan jasa misalnya bisnis kecil-kecilan atau mungkin menjadi pekerja walaupun tak full time. Kalau anak-anak masih kecil, mungkin wajar saja kalau kita tidak bekerja, tapi kalau anak-anak sudah besar, sudah sepatutnya kita punya waktu untuk usaha”.

Yup, asumsi yang sangat tepat.

Dan lagi-lagi saya menggangguk, kali ini saya benar-benar mengerti apa yang dia ceritakan.

Berawal dari obrolan singkat, saya lalu berpikir sambil mengamati orang-orang yang setidaknya sudah berkeluarga.

Seseorang terutama wanita pasti juga mempunyai masalah dalam hidupnya tanpa terkecuali. Seorang wanita karir pasti pernah mempunyai masalah di kantor, wanita yang masih ambil sekolah, pasti juga mempunyai masalah dalam studinya bahkan wanita yang hanya di rumah (ada atau belum ada anak pasti juga mempunyai masalah).

Wanita yang sibuk dengan dunia luarnya pasti akan sangat senang ketika pintu rumahnya terbuka dan sang suami memeluk lembut serta berucap “Apa kabar sayang?”. Semua beban masalah terasa lenyap terbawa angin dan dalam sekejap wanita itu bisa berubah fungsi menjadi istri yang sempurna.

(Catatan: Mungkin, dalam kasus ini hanya dimaksutkan untuk wanita karir yang masih perhatian dengan keluarga bukan untuk wanita karir yang benar-benar karir (urusan karir adalah urusan pertama di atas urusan keluarga)).

Sedangkan wanita yang menjadi housewife sejati, sebagian besar masalah hanya ada pada dirinya sendiri. Masalah kebosanan itu pasti akan menduduki urutan pertama. Apalagi apabila wanita itu adalah wanita tipe pekerja keras dan suka tantangan. Selain itu bagi yang sudah punya anak, masalah yang mungkin adalah masalah anak-anak.

Dan, lucunya lagi, banyak kasus yang terjadi akhir-akhir ini adalah suami jaman sekarang yang “sedikit” pelit membagi harta kepada istri. Kalaupun tidak seperti itu, banyak juga istri yang merasa tidak enak hati meminta duit “lebih” kepada suami. Kalau hal itu benar-benar sudah banyak terjadi, dunia seakan menangis merintih. Kewajiban suami adalah memberikan nafkah seratus persen dan kewajiban istri adalah patuh pada suami dan dia berhak meminta haknya (semampu suami tentu saja).

Semakin banyak wanita karir maka semakin banyak suami yang berpikir bahwa dia tak perlu memberi nafkah 100% kepada istri dan mengakibatkan semakin banyak wanita yang dulunya hanya ingin mengabdi penuh di rumah berubah pikiran ingin menjadi wanita karir. Wanita-wanita itu takut apabila suaminya tidak mau memberi nafkah penuh karena pengaruh lingkungan dan takut bila suaminya melirik wanita karir di luar sana yang pasti tidak akan merepotkan dia karena dia tidak perlu memberikan nafkah penuh.

Dilema.

Kecanduan

May 28, 2008

Kecanduan terhadap sesuatu pasti mengkonotasikan keburukan. Kecanduan dapat berarti kesukaan yang terlalu berlebih, tidak sesuai kadarnya dan terkadang tidak sesuai tempat dan waktu yang bijak.

Apa jadinya bila orang terdekat kita sedang kecanduan sesuatu? Bisa saja kecanduan makanan tertentu, minuman tertentu, musik tertentu, group music tertentu sampai obat-obatan tertentu (astagfirullah…). Mending, kalau kita atau orang terdekat kita itu kecanduan baca buku-buku keilmuan atau menonton acara Discovery Channel. Tapi, lagi-lagi kecanduan apapun tetap saja itu tidak positif.

Beberapa bulan terakhir ini, orang terdekat saya (baca: suami), kecanduan group  musik tertentu. Dia sedang senang-senangnya all about Korea. Dari makanan, bahasa, musik sampai group musiknya, terfavorit berasal dari negara kecil itu. Kalau saya bilang itu sudah termasuk kecanduan.

Yang paling terasa adalah kecanduan salah satu group musik bernama Wonder Girls yang semua personelnya adalah perempuan. Menurut saya, menyukai sesuatu adalah wajar. Bahkan saya pun sebenarnya juga suka dengan group musik tersebut tapi mungkin sedikit lebih terkontrol.

Setiap hari selalu menyempatkan membuka blog full about Wonder Girls walaupun hanya semenit. Pernah suatu hari, ketika beliau akan berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa tiba-tiba mampir ke laptop dan membuka wondergirls.wordpress.com, ampyuuunnnn….walaupun tidak dalam hitungan menit, saya pikir ini sangatlah tak wajar.

Kecanduan merupakan luapan dari kebiasaan kita melakukan (atau merasakan) sesuatu. Semakin sering kita melakukannya maka kita akan terbiasa dengan hal itu dan apabila suatu saat kita tidak melakukannya, hidup kita serasa tidak lengkap bahkan kita bisa merasa tidak bahagia.

kecanduan…(baca selengkapnya ya..)

Saya yakin anda pasti sering mendengar MSG (Monosodium Glutamate). Di Indonesia, MSG termasuk bumbu wajib yang ditambahkan di makanan. Tanpa MSG, makanan terasa hampa dan mungkin tidak menggugah selera. Banyak sekali merek MSG yang didistribusikan secara luas di Indonesia dari yang paling murah sampai yang cukup mahal (semahal-mahalnya MSG/vetsin hanya Rp.500/bungkus). Banyak ahli medis dan gizi yang mengatakan bahwa MSG yang berlebihan sangat berbahaya untuk kesehatan tubuh. Akhir-akhir ini jumlah penduduk Indonesia yang menderita kanker dikatakan meningkat dengan perbandingan 1 dari 4 orang terkena kanker (buka situs 1 di akhir tulisan).

Pada saat saya masih kecil ibu sangat melarang saya untuk membeli snack semacam chiki, taro dan sebagainya. Saat saya mengerti mengapa ibu saya melakukan hal itu pada saya, saya justru bersyukur dan dengan kesadaran sendiri saya selalu berusaha menghindari sebisa mungkin MSG pada makanan. “No MSG” adalah mutu saya saat makan.

Saat saya masih di Indonesia, saya sering berpesan pada ibu untuk memasak tanpa vetsin. Dan saat saya di Jogja, saya sering berpesan pada penjual makanan, “mas, pesen nasi goreng pedes, ga pakai vetsin ya”. Walaupun saya tidak tahu apakah mereka tetap menambahkan vetsin atau tidak, yang terpenting saya sudah mencoba untuk tidak ber-MSG riaimg_0867.jpg.

Dan sekarang saya tinggal di Paman Sam yang katanya merupakan salah satu negara penyumbang terbanyak jumlah pengidap kanker. Pertama kali datang ke sini, salah satu hal yang saya amati adalah kebiasaan makan masyarakat. Semua terlihat serba praktis dan cepat. Dari makanan yang siap saji, minuman berwarna yang siap diminum kapanpun dan bahkan bahan makananpun juga siap langsung dimasak. Semua bumbu telah di-marinate. Bahan-bahan sayuran yang dijual di supermarket juga tinggal dicuci atau dipotong (kalau ingin dipotong) dan dicampur bumbu yang sudah siap. Mudah, cepat dan enak. Mungkin di restoran-restoranpun juga melakukan hal yang sama dengan bumbu siap saji. saya sempat……

Dari saya kecil, saya hampir tidak pernah mempunyai berat ideal yang disesuaikan dengan tinggi saya. Hampir semua orang bilang saya kurus, cengkring (bahasa jawa) dan terlihat penyakitan. Makan banyak dan bergizi, tidur cukup serta berusaha tidak terlalu banyak beraktivitas sudah saya lakukan tetapi berat tubuh saya tidak bisa tambah juga. Waktu itu tubuh ini rasanya terlalu rapuh dan pasti mudah limbung bila ada tiupan angin meskipun tidak terlalu kencang.

Dan saat beranjak mulai dewasa (umur 17 thn-an) saya sedih karena dapat dibilang saya tidak sexy sama sekali. Orang tua saya hanya menghibur dengan mengatakan ” La, kamu ki wis kaya model. Model ki yo kurus-kurus ngono, ga terlalu lemu.Wis pede ae lah” (Kamu itu sudah kaya model. model itu juga kurus-kurus seperti kamu, tidak terlalu gemuk. Sudahlah, kamu percaya diri aja).

24533257491.jpg

Waktu berjalan, akhirnya saya kuliah di salah satu kota budaya di Indonesia. Pertemuan saya dengan orang-orang dari daerah yang berbeda-beda membuat wawasan saya bertambah termasuk dalam hal makanan, olahraga dan kegemukan. Tetap saja teman-teman baru saya mengatakan saya paling kurus bila dibandingkan teman-teman yang lain. Berbagai saran untuk menambah berat badan diberikan oleh teman-teman, mulai dari makan yang teratur dengan 4 sehat 5 sempurna, olahraga (aerobik dan body language) untuk membentuk badan supaya lebih sexy serta tips untuk menikmati hidup dengan tidak mudah stress sehingga badan ini terasa lebih segar dan bertambah berat.

kemudian…