Kamis tanggal 27 November 2008 yang lalu, masyarakat North America merayakan Thanksgiving Day (maaf baru sempat update:-p). Berdasarkan sejarahnya beberapa puluh tahun lalu, Thanksgiving Day merupakan hari dimana masyarakan pilgrim (pendatang) merayakan pesta bersama dengan penduduk asli Amerika (Indian). Pesta tersebut sebagai ungkapan terima kasih para pilgrim kepada Indians karena mereka telah mengijinkan para pilgrim tinggal di daerahnya sekaligus mengajari pilgrims bagaimana cara bercocok tanam dan berburu. Pesta tersebut sekaligus juga ungkapan kepada Tuhan atas rahmat yang diberikan kepada mereka.

Masyarakat jaman dulu merayakan Thanksgiving dengan api unggun layaknya pasukan pramuka (hehe) bersama-sama antara orang putih dengan masyarakat asli. Sedangkan masyarakat Amerika pada jaman modern ini merayakannya dengan makan thanks1turkey dan hidangan khas Thanksgiving seperti pumpkin pie, sweet potatoes, beberapa jenis buah dan sayuran bersama keluarga besar masing-masing. Hal itulah yang menjadikan Thanksgiving Day sebagai hari libur nasional, bahkan anak sekolah diliburkan 1 minggu penuh.

Selain makan turkey, hal yang unik pada saat Thanksgiving Day adalah BLACK FRIDAY. Black Friday adalah 1 hari tepat setelah Thanksgiving Day. Setiap tahun, Thanksgiving Day selalu jatuh pada hari Kamis pada minggu terakhir di Bulan November. Dan esok harinya hampir semua toko-toko dan sebagian besar outlet memberikan diskon besar-besaran. Dan itulah yang disebut sebagai Black Friday.

Beberapa polisi menyebut Black Friday karena pada hari itu lalu lintas padat dipenuhi orang-orang yang akan berbelanja. Sedangkan sopir bis dan taksi menyebut Black Friday karena pada hari itu banyak sekali customer yang minta diantar ke toko atau outlet untuk berbelanja. Lain lagi untuk seorang accountant yang menyebut Black Friday dengan alasan karena adanya keuntungan penjual yang meningkat tajam pada hari tersebut.

Sebagian besar masyarakat berduyun-duyun mencari diskon dengan alasan yang beragam. Sebagian besar dari mereka bertujuan mencari hadiah-hadiah untuk hari natal dengan harga murah. Tapi tak banyak juga yang hanya ingin mendapatkan suatu barang dengan harga sangat murah dibanding hari biasa bahkan ada juga yang sekedar iseng/hobi. Mereka rela mengantri 3 jam bahkan 6 jam sebelum toko buka. Toko-toko dan outlet-outlet pun buka lebih awal dari hari biasa, misalnya jam 4 pagi, jam 2 pagi maupun jam 12 tengah malam. Dan masyarakat rela mengantri dari jam 9 malam (apabila toko buka jam 12 tengah malam), jam 11 malam (apabila toko buka jam 4 pagi) dsb. Udara dingin Fall pada malam Black Friday pun bukan halangan untuk mereka. Mereka mempersiapkan diri dengan membawa selimut, alas tidur, makanan, kursi lipat bahkan mendirikan tenda pada saat mengantri. Ada juga yang berjualan kopi panas keliling pada malam itu. Pada malam itu juga saya sempatkan ambil foto di Best Buy (salah satu toko komputer dan elektronik terbesar di Amerika) dan Kohl’s (toko baju seperti Matahari di Indonesia).

dsc029051

dsc02908

dsc029091Persaingan fisik terlihat pada malam itu. Mereka harus tahan dingin dan sakit saat mengantri. Semakin depan kita mengantri berarti semakin cepat kita masuk toko dan mendapatkan barang yang ingin dibeli, hal itu berarti waktu mengantri kita harus yang paling lama. Dan apa yang terjadi setelah itu? Pada saat pintu toko siap-siap mulai dibuka, orang-orang yang antrian belakang justru mendesak-desak kita yang paling depan. Tak dapat dielakkan lagi kita justru terbentur-bentur sama pintu depan toko. Kemudian, pada saat pintu toko benar-benar terbuka, bila kita tidak tahan diri kita bisa terdorong jatuh dan bisa dibayangkan kita akhirnya terinjak-injak oleh mereka. Tak heran pada tahun ini ada 1 korban pegawai toko yang meninggal karena tertindih pintu masuk yang ambruk saat orang-orang berdesakan ingin masuk ke dalam toko. Fenomena yang menyedihkan.

Pada saat kita sudah di depan barang yang kita inginkan pun persaingan tetap saja terjadi. “Siapa cepat dia dapat” hal itu yang perlu diingat-ingat. Tangan-tangan kekar kita harus cepat menjangkau barang yang kita inginkan. Kita harus menjangkau barang tersebut tanpa memilih dan langsung membawanya ke kasir. Tahun ini di daerah California juga telah terjadi penembakan di antara dua orang yang berebut barang saat di dalam toko.

Banyaknya korban yang jatuh inilah yang membuka pikiran saya mengapa saya repot-repot ikut mengantri di depan toko seperti mereka. Keuntungannya, saya memang bisa mendapatkan barang dengan harga murah hingga 80% dari harga biasa. Tetapi resikonya saya bisa jatuh, masuk rumah sakit, sakit bahkan meninggal. Belum ada jaminan juga saya bisa mendapatkan barang yang saya inginkan. Banyak juga orang-orang yang telah mengantri beberapa jam saat Black Friday pulang dengan tangan kosong.

Satu hal lagi, mengapa seorang accountant menyebut Black Friday seperti yang sudah saya katakan di atas? Karena pada saat itu, penjual justru mendapatkan untung yang berlipat ganda walaupun dia menurunkan harga jual besar-besaran. Selama satu tahun penuh seorang penjual dapat dikatakan defisit karena harga jual tidak dapat menutupi modal dan biaya operasional. Sedangkan pada saat Black Friday, harga jual diturunkan hingga 50 bahkan 80% tetapi biaya operasional juga diturunkan . Contoh kasus, pada hari biasa pegawai yang dipekerjakan ada 10 orang tetapi pada Black Friday orang yang dipekerjakan cuma ada 2 orang. Semisal pada Black Friday, gaji 2 orang adalah 2 x 7 jam x $10= $ 140 sedangkan pada hari biasa 10 x 7 jam x $10=$700. Kalaupun gaji pegawai dinaikkan hingga $15/ hour, biaya operasional tetap bisa menghemat sekitar $450an. Oleh karena itu, keuntungan dari harga jual yang sangat sedikit dapat tergantikan penuh dengan biaya operasional yang sedikit pula sehingga laba bersih yang diperolah justru berlipat-lipat dari hari biasa. Kondisi inilah yang menyebabkan laporan keuangan yang biasa ditulis dengan tinta merah karena rugi menjadi ditulis dengan tinta hitam karena untung sehingga dinamakan Black Friday.

Entah tradisi di Amerika ini bakal bertahan sampai kapan. Hingga sekarangpun pemerintah justru mendukung progam ini karena alasan ekonomi. Sehingga yang jadi pertanyaan, kapan masyarakat akan terbuka matanya melihat fenomena seperti ini? Let’s wait and see sajalah:D.

Foto pertama diambil dari sini.

Sumber tulisan dari sini, sana dan situ.

Saya berfikiran menulis tentang hal ini setelah membaca blog tetangga disini. Entah mengapa dari tulisan tersebut saya merasakan betapa sulitnya melawan berbagai budaya asing yang sangat berbeda dengan sunnah agama dan budaya daerah asal kita. Salah satu halnya adalah budaya berpakaian. Budaya asing mengajarkan pada kita bahwa fashion adalah segala-galanya. Fashion yang tidak ketinggalan jaman tentu saja yang selalu up to date, modis dan nyaman dipakai (contoh: kalau summer/musim panas, orang-orang akan memakai baju pendek plus tipis). Sedangkan sunnah agama dan budaya kita mengajarkan bahwa fashion adalah sesuatu yang harus kita perhatikan kenyamanannya, kebersihannya dan kesopanannya tanpa mengurangi jumlah aurat yang semestinya tertutup. Nyaman dipakai kalau tidak menutupi aurat yang semestinya tertutup berarti sama saja tidak sesuai dengan agama dan budaya. Begitu teorinya.

Sedangkan kenyataannya tidak seperti itu. Mengikuti fashion adalah hal pokok daripada memikirkan tentang budaya dan sunnah agama. Bahkan sekarang di Indonesia banyak perempuan-perempuan yang berjilbab sekedar mengikuti trend. Sehingga seringkali kita mendengar, “Berjilbab ga berjilbab sama saja. Itu cuman masalah fashion”. Nah loo???

6a00d8341c2f5553ef00e54f15bf188833-800wi

Banyak perempuan yang takut memakai jilbab salah satunya karena melihat fenomena itu. Jilbab bukan sesuatu yang pokok untuk agama karena buktinya banyak yang memakai jilbab tapi secara kualitas agama sama saja dengan yang tidak pakai jilbab. Dan bahkan mereka takut apabila memakai jilbab tetapi tidak berubah menjadi baik nantinya justru akan menjelekkan agama.

Dari pengalaman pribadi di negara yang budayanya jauh dengan sunnah agama Islam, berjilbab adalah hal yang sangat membantu saya dalam segala hal salah satunya adalah masalah sholat. Kendala susahnya masjid di Amerika ini memaksa kita untuk sholat dimana saja dan dalam kondisi apa saja. Di mobil, duduk di kursi, di rumah teman, di sekolah, di tempat kerja, di bus maupun di kereta. Alhamdulillah, Allah memudahkan kita dengan tayamum. Andai kata kita perempuan yang tidak berjilbab betapa sulitnya kita saat harus sholat. Yang terjadi justru kita akan menundanya sampai kita menemukan masjid atau cari tempat yang benar-benar bisa ganti baju dan memakai hijab. Dan bila malas karena terlalu ribet, tak sadar kita benar-benar meninggalkan sholat. Sedangkan kalau kita berjilbab, kita tinggal ambil tayamum, membenarkan kaos kaki, hijab lalu sholat.

Yang kedua adalah lebih mudah menghindari dunia hedonism. Setiap minggu, dunia fashion di negara ini selalu berganti. Minggu ini celana sepaha dengan kancing di samping, minggu depannya rok mini dengan kancing jarang-jarang di bagian depan, minggu depannya ada lagi. Setiap weekend juga banyak tempat-tempat clubbing berkeliaran di seantero kota. Berapapapun banyaknya uang yang kita punya mungkin akan habis kalau tiap minggu kita berpesta pora disana. Dunia jauh lebih kejam daripada seekor rayap yang sedang menggerogoti rumah kayu kita. Sedangkan bila kita berjilbab, betapa kita lebih mudah menahan hawa nafsu kita untuk ikut-ikutan masuk ke dunia seperti itu. Kita akan lebih berhati-hati memilih fashion yang cocok dengan kita. Modelnya, potongannya, gayanya pasti akan kita sesuaikan dengan jilbab kita. Secara tidak langsung kita akan menghemat karena saya yakin tidak tiap minggu ada fashion yang cocok dengan pakaian berjilbab kita. Kita juga akan berpikir 50x lipat untuk memutuskan bergabung di tempat-tempat clubbing ketika weekend. Kita akan berpikir, “Apa kata dunia dengan jilbab ini andai saya masuk ke dunia seperti itu?”.

Jadi, meskipun sedang di negara tidak berbudaya sekalipun, berjilbab itu sangat lah berarti buat kita. Walaupun jilbab tidak menunjukkan secara mutlak tingkat keimanan kita, tapi setidaknya dimanapun kita bisa ingat bahwa kita wajib menjaga aurat, sholat dan sunnah agama. Manusia tidak ada yang sempurna. Tapi kita harus selalu berusaha untuk menjadi/mendekati sempurna.

Semoga ini bisa membantu teman-teman yang ragu berjilbab karena sedang di negara asing.

Gambar diambil dari sini.

Birthday Party!

November 21, 2008

Beberapa hari yang lalu, salah satu teman saya berulang tahun. Saya tahu beberapa hari sebelum tepat hari ulang tahunnya. Tidak tanggung-tanggung, teman saya sendiri yang memberitahukan pada kami bahwa dia akan berulang tahun pada tanggal sekian dan sekalian dia mengundang kami untuk hadir di suatu restoran sore harinya.

Dengan berbekal baju yang pantas dan sejumlah dollar di dompet, saya, suami dan beberapa teman saya berangkat untuk memenuhi undangannya. Seperti layaknya orang yang berulang tahun, teman saya terlihat bahagia. Tak lupa kami memberikan ucapan doa dan nyanyian Happy Birthday to You seperti biasa. Waktu berjalan cepat. Berkumpul dengan teman-teman, bercanda gurau plus makan makanan restoran yang lezat membuat kami semua bahagia juga malam itu hingga tak terasa malam semakin larut.

e10b4dc4cac1ecec1Ketika mendekati waktu jam tutupnya restoran, seorang pelayan datang menghampiri kami dan memberikan bill pembayaran apa yang telah kami pesan. Sekian ratus dollar yang tertera di bill yang saya lihat sekilas cukup membuat saya kasihan sama teman saya yang berulang tahun. “Gila, boros banget nih anak. Party ulang tahun gini aja habis ratusan dollar. Busyeeet”, batin saya.

Tak lama kemudian,

“Hey, iuran-iuran!”, salah satu teman saya mengucapkan kata yang tidak asing bagi saya saat saya masih jadi mahasiswa di Indonesia dulu.

“Iuran?hm?”, tanya saya polos.

“Iya, iuran. Loe tadi makan apa aja sih? Catat aja habis berapa. Kalau lo ga ada uang cash, kita barengan aja dulu pakai kartu kredit gue. Tar kapan-kapan loe bayar ke gue. Ok?”, kata teman yang duduknya di sebelah saya.

Saya benar-benar tidak mengerti apa maksut dari semua ini. Saya turuti dulu aja apa yang dibilang teman yang ada di sebelah saya, setelahnya saya bisa bertanya sebenarnya apa yang sedang terjadi.

Beberapa saat kemudian teman saya bilang, “Di sini memang kaya gini. Kalau ada yang ulang tahun, mereka mengundang kita di restoran trus kita bayar sendiri-sendiri. Teman-temannya justru berkewajiban bayarin orang yang sedang ulang tahun, bukan yang ulang tahun yang harus bayarin teman-temannya. Mereka beranggapan bahwa yang ulang tahun yang seharusnya bahagia bukan malah sebaliknya. Kalau yang ulang tahun yang bayarin uang makannya, kan pasti dia pusing mikirin uangnya”.

Wah? Bener juga ya?

Bandingkan saja dengan budaya kita, Orang Indonesia! Setiap ulang tahun, kita diminta mentraktir teman-teman, saudara-saudara kita. Kalau yang lagi apes, kita disiram rame-rame pakai air rendaman cucian berumur 3 hari plus telur busuk plus tepung, saos, kecap dan sejenisnya. Tanda kasih sayang orang-orang kita seakan dibudayakan dengan sesuatu yang mengenaskan, hehe.

Mungkin kita tidak akan melakukan hal seperti yang teman saya lakukan yaitu mengundang teman tapi mereka sendiri yang mesti bayar makanannya. Kalau tidak mau mengeluarkan duit, paling tidak minta doa saja. Atau kita bisa juga tetap mengadakan party kecil walaupun sederhana.

Ada budaya yang terkadang jauh dari nalar kita sebagai Orang Indonesia. Tidak semuanya harus masuk ke diri kita tapi tidak pula semuanya harus ditolak. Memilih mana yang terbaik untuk kita itu yang sangat utama.

Hati-hati ya kalau diundang teman ulang tahun. Siapkan uang secukupnya untuk jaga-jaga, siapa tahu teman yang mengundang kita menganut paham ini, hehe.

That’s Mine…

June 5, 2008

Cerita ini berawal di Hari Jumat, saat saya dan suami pergi ke Islamic Centre Maryland untuk Sholat Jumat.

Sudah mulai Summer, udara mulai panas dengan matahari yang bersinar terik.  Hawa yang panas bikin kita lebih labil untuk emosi. Di badan rasanya lengket karena panas yang saya rasa sangat berbeda dengan panasnya di Indonesia. Di Indonesia udara terasa panas karena matahari plus polusi, disini panas murni hanya karena matahari yang terasa lebih sangat dekat bumi.

Sesampai di masjid, saya menuju ke tempat sholat wanita sekalian mencari tempat wudhlu khusus wanita. Saya pikir, mukena yang saya bawa saya letakkan dulu di masjid daripada saya nanti kerepotan membawanya saat wudhlu.

Masuk ruangan salat for ladies,

“ups, ada meja tuh, mukenanya taruh disana saja”, pikirku. Lalu saya jalan ke arah meja itu.

(Bentuk meja kecil, kira-kira berukuran 1×0,5m, di meja tidak terlihat barang apapun selain 1 buah pisang dan 1 apel yang tergeletak).

Dengan langkah jinjit (biar tidak menganggu orang berdoa) saya mendekati meja itu. Saat saya jinjit kira-kira setengah senti dari meja tiba-tiba terdengar suara bentakan keras mengejutkan (hingga semua wanita yang akan sholat disitu melihat saya),

” Hei, that’s mine! You know, that’s mine, don’t touch it, dont take it!”

Ups, What the hack? …..

Astagfirullah!!

hasna hasna sabar sabar, sabar ya nduk, ini masjid, tahan nafas, tersenyum, jangan marah, biarkan dia mengumpat sesukanya, yang penting kamu tidak berniat mengambilnya.

Dan yang ada, “ups, im sorry mom, im just going to put my hijab” dengan senyum berlagak pilon.

Ya Allah, serendah apa saya ini sampai mau-maunya mencuri apel dan pisang?  Di rumah saja, apel sama pisang sampai kebuang-buang karena tidak ada yang makan (sombong dikitlah dalam hati).

Ampun deh ibu-ibu ini…(semoga diampuni dosanya olehNya).

Setelah sholat, saya dan suami meluncur ke suatu tempat. Sepanjang jalan, saya bercerita panjang lebar dengan kejadian barusan. Kupikir, dia akan berkomentar “marah-marah” ke ibu tersebut. Tapi ternyata dia justru berkomentar kalau orang Amerika mempunyai batasan yang jelas terhadap barang-barang miliknya. Mungkin, ibu itu marah-marah karena dipikirnya aku akan mengambil buah-buah yang dibagikan gratis oleh pihak masjid setiap hari Jumat, dia mengklaim bahwa buah di meja itu milik dia sepenuhnya karena dia yang ambil dari pihak masjid. Ada satu hal lagi, orang sini akan sangat berhati-hati dengan makanan. Mereka jijik jika ada orang lain yang mengutak atik atau bahkan hanya menyentuh makanan mereka. Mereka juga berani “to the point” bila ada yang mengancam makanan atau barang mereka. Tidak seperti di Indonesia yang kemungkinan akan melihat dulu gerak-gerik orang sebelum dia bertindak menuduh. Oleh karena itulah, ibu itu mungkin sangat takut waktu saya mendekat karena dia pikir saya akan mengambil buah itu atau saya akan menyentuh buah itu.

Suami saya bahkan menjelaskan, ada kemungkinan kalau barang itu HP atau tas, orang tidak akan berteriak ketakutan seperti itu karena dia percaya orang lain akan tahu bahwa itu pasti barang pribadi milik orang dan orang tersebut pasti tidak berani menyentuhnya.

Benar-benar paradigma baru untuk saya.

Hawa Individualism

June 1, 2008

Kehidupan masyarakat yang individual ala Amerika;

1. Tak kenal satupun tetangga rumah

2. Tak pernah bertamu satu kalipun ke masyarakat sekitar

3. Tak ada Pak Lurah, Bu Lurah, apalagi Pak and Bu RT

4. Butuh apapun, call 911 adalah pilihan terbaik daripada minta tolong tetangga

5. Tak ada satupun acara rame-rame se-perumahan atau se-wilayah kampung

6. Tentu saja tak ada ronda dan pos ronda, kalau ada maling urusan masing-masing rumah

7. Pakai baju model apapun, terserah, tak ada yang peduli

8. Ada kelainan fisik bentuk apapun, tak ada satupun yang melihat dengan sorotan mata aneh/  kasihan (seperti di Indo)

9. Mobil mogok? call 911 atau panggil mobil derek adalah pilihan lebih bijak daripada meminta tolong orang buat mendorong mobil. cttn: Mobil Derek bisa dibayar pakai Credit Card (kalau ga bawa cash), jadi ga perlu khawatir.

10. Tak kenal temen satu kelas atau satu ruang sekolah adalah hal biasa

11. Tak peduli orang itu muslim, kristen, katolik, atheis

hmm….

apalagi ya?

banyak bgt deh hawa-hawa individualism disini. Dijamin privacy anda bakal terjaga total:).

 

 

 

Akhir-akhir ini aku sadar bahwa berbicara sebaiknya yang seperlunya saja karena beberapa kali aku kena komentar ‘blak-blakan’ ala Amerika yang membuatku selalu instropeksi diri. Di Indonesia dulu, orang-orang sekitarku mungkin akan lebih diam saat aku ngomong hal yang tidak sesuai dengan mereka, walaupun hati mereka sebenarnya geregetan dengan kata-kataku. Prinsip tidak ingin diperlakukan seenaknya sangat aku rasakan di Amerika meskipun baru beberapa bulan aku disini.

Akibatnya, aku jadi malas ngomong karena harus hati-hati banget. Kalau ngobrol sama orang bule, aku akan lebih banyak tersenyum, :), dengan alasan: 1. terkadang masih susah mengerti bahasa mereka “nih bule ngomong apa sih?”, udah pake Bhs Inggris, pake logat pula, logat Indialah, logat Eropalah, logat Chinalah, logat Jepanglah, logat Vietnamlah plus logat Black People, semuanya beda-beda cara ngomong dan spell englishnya. Kedua, ya..karena memang agak malas ngobrol panjang lebar, tar jangan-jangan si bule ini ga ngerti apa yang aku omongin? :-(. Ketiga, terkadang si bule tanpa diduga akan berkomentar yang di luar dugaan kita, waktu kita nganggap ini candaan, ternyata mereka mikir kita serius, saat kita serius, tanpa diduga mereka tertawa terbahak-bahak, yaah…mesti pintar lihat suasana. Kalau wajah mereka berubah “aneh”, buruan bilang, “im sorry, im just kidding” lalu tersenyum:). Memang, hidup di luar, bukan hanya bahasa saja yang harus kita pelajari tapi karakteristik masyarakat juga.

Nah, beda kalau ngobrol sama orang indonesia yang ada disini. Mungkin, aku justru bersikap biasa saja, yah tersenyum itu pasti tapi ala kadarnya, khawatir dipikirnya kita terlalu “berlebihan”. Bedanya bila kita ngomong sama orang indo yang disini dibandingkan orang indo yang di Indonesia , kita harus lebih terbuka sama kritik dan saran orang lain yang terkadang kita rasakan bukan hanya pada waktu dan tempat yang tepat. Sebenarnya orang indo yang di Indonesia pun ada juga yang mempunyai kebiasaan seperti itu tapi mungkin hanya sebagian kecil. Sedangkan hampir semua orang indo yang disini (berdasarkan survey kecil-kecilan) lebih bersikap apa adanya, ngomong apa adanya, saat dan waktu kapanpun. Secara geografis, aku yang termasuk Orang Jawa agak kaget dengan sikap seperti itu. Mungkin, hal itu karena mereka sudah terbiasa dengan kehidupan Amerika yang bebas dan berani.

Sikap apa adanya seperti itu sebenarnya lebih banyak sisi positifnya. Seseorang lebih bisa menghargai orang lain dengan berbicara yang baik-baik saja kepada orang lain, selain itu seseorang akan merasa mempunyai kebebasan untuk jujur kepada orang lain dan dia juga bisa membela diri sendiri bila ada orang lain yang menyinggung perasaannya. Kapanpun, kita tetap harus selalu siap dengan reaksi apapun orang lain saat kita ngomong dengan mereka meskipun kita selalu menjaga ucapan kita.